Minggu, 01 Januari 2012

PEMBERONTAKAN SADENG by Renny Masmada ·

Dalam Nagarakretagama dikatakan bahwa Gajah Mada mulai ikut serta dalam tanggungjawab pemerintahan pada tahun saka 1253 (=1330/1 Masehi).
Pernyataan ini diperkuat oleh prasasti Blitar yang menyatakan bahwa Gajah Mada menjadi Patih negara bawahan Daha pada tahun 1330.
Pada saat menjabat patih di Daha itulah Gajah Mada diminta menggantikan kedudukan Arya Tadah sebagai Mahapatih Amangkubumi. Namun Gajah Mada menolak.
Salah satu alasannya adalah akan menundukkan pemberontakan yang terjadi saat itu, antara lain di Sadeng yang terletak di tepi sungai Badadung di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. (Menurut Indra GM, sungai ini mengalir dari kawasan utara/timur Kabupaten Jember, dan melintasi kota Jember, kemudian bermuara di pantai Puger. Jadi yang benar lokasi Sadeng sebagaimana tertulis dalam Nagarakretagama, berada di kawasan Kecamatan Puger di sekitar Gunung Sadeng/Gunung Grenden sekarang). Akhirnya Gajah Mada untuk sementara berada di Majapahit sebagai patih yang membantu/mewakili  Arya Tadah, Mahapatih Amangkubumi.
Hal ini menimbulkan iri hati beberapa bangsawan istana. Mereka menganggap hal itu telah mengangkat Gajah Mada yang berasal dari daerah terpencil, sebagai orang biasa, menjadi bangsawan yang hidup berdampingan dengan mereka, bahkan mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Bangsawan istana seperti Ra Kembar, Jabung Terewas dan Lembu Peteng merasa sangat tersinggung dan bahkan berupaya untuk menghancurkan karir Gajah Mada.
Salah satunya adalah mendahului penyerbuan ke Sadeng dengan maksud agar penumpasan pemberontakan bukan karena Gajah Mada tetapi karena tangan Ra Kembar. Ini akan menghancurkan Gajah Mada di pusat pemerintahan.
Itulah sebabnya ketika Gajah Mada dan Adityawarman sedang melakukan upaya diplomasi dengan Sadeng agar kabupaten yang mulai melakukan upaya-upaya penggalangan militer di daerahnya itu dapat tunduk tanpa menumpahkan darah percuma, Ra Kembar dengan gerakan cepat dan tanpa diduga langsung melakukan penyerangan ke Sadeng.
Diplomasi menjadi berantakan. Sadeng dengan kekuatan penuh mulai berhadapan dengan Majapahit. Hal ini membuat kalangan pembesar istana kecewa, terutama Gajah Mada. Arya Tadah bahkan sangat marah dan meminta Gajah Mada atas namanya mengirimkan utusan ke perbatasan Sadeng untuk menemui Ra Kembar agar mengurungkan niatnya dan membawa kembali pasukan yang dibawanya.
Ra Kembar menolak, dengan alasan yang dilakukannya itu semata-mata demi negara. Bukan itu saja, Ra Kembar sempat mencederai utusan itu dengan cambuknya agar kembali ke kotaraja menyampaikan pesannya yang antara lain berbunyi bahwa dia tidak takut andai kata para pembesar istana marah kepadanya.
Sadeng yang melihat perbatasannya sudah dipenuhi dengan tenda-tenda pasukan Majapahit menjadi marah.
Dengan kekuatan penuh dikirimnya pasukan Sadeng ke perbatasan untuk menggempur pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Ra Kembar, bangsawan setingkat dharmaputera itu.
Pertempuran tak dapat dielakkan.  Darah mulai membasahi bumi. Para istri banyak kehilangan suami, anak-anak kehilangan bapaknya yang mati ditembus pedang, tombak dan panah lawan.
Beberapa hari pertempuran itu semakin menyusutkan jumlah para prajurit terutama para prajurit yang dipimpin oleh Ra Kembar. Majapahit semakin terdesak.
Bersamaan dengan itu, melihat perkembangan keadaan, tidak ada pilihan lain bagi Gajah Mada selain dengan terpaksa mengerahkan kekuatan Majapahit yang sesungguhnya ke medan perang di perbatasan Sadeng itu.
Bersama-sama dengan Adityawarman dan bahkan Sri Ratu sendiri, Gajah Mada akhirnya dapat menundukkan Sadeng. Bupati Sadeng dan puteranya tewas.
Penundukan Sadeng pada tahun saka 1253. Dalam Nagarakretagama pupuh XLIX/3 dinyatakan dengan candrasangkala tahun saka agni-iswari, sama dengan tarikh Pararaton dengan candrasangkala tahun saka kaya-bhuta-anon-daging, 1253 (= 1331 Masehi).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas posting tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Salam Nusantara..!
www.rennymasmada.com