Kamis, 23 Februari 2012

Kerajaan SADENG

Kerajaan Sadeng, Awal Kehidupan Politik di Kabupaten Jember
Oleh : Indra G Mertowijoyo
Penetapan hari jadi Pemerintah Kabupaten Jember, yang mendasarkan pada diberlakukannya Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, pada 1 Januari 1929, menjadikan sejumlah masyarakat kecewa. Karena sumber penetapan hari jadi seperti itu sama artinya mengakui keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda. Padahal di Kabupaten Jember, sebelumnya juga pernah berdiri sebuah kerajaan, yaitu Sadeng.

Tanggal 1 Januari 2009, Pemerintah Kabupaten Jember, memasuki usianya yang ke 81. Suatu usia yang bagi sebuah kota atau daerah, sebenarnya terbilang masih sangat muda, bila dibanding daerah lain yang sudah mencapai ratusan tahun.
Mudanya usia Kabupaten Jember ini memang tidak bisa dihindari. Karena dari catatan yang ada, Pemerintah Kabupaten Jember, resmi ada sejak tanggal 1 Januari 1929. Sebelum itu, Jember masih berstatus sebagai daerah Kepatihan atau bawahan dari Karesidenan Besuki, yang berkedudukan di Bondowoso.
Bersama Bondowoso, saat itu Jember dipimpin oleh seorang Patih, yang bertanggung jawab kepada Resident Belanda, di Bondowoso. Patih pertama untuk Jember ketika itu, Raden Ngabehi Astro Dikoro. Ia menjabat sebagai patih di Jember dari tahun 1805-1908.
Jember baru resmi dinyatakan sebagai regenscap/kabupaten, setelah Pemerintah Hindia Belanda, mengeluarkan Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928, yang diberlakukan pada tanggal 29 Januari 1929. Ketentuan tersebut secara resmi ditertibkan oleh De Aglemeene Secretaris (Sekretaris Umum Pemerintah Hindia Belanda), G.R Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.
Dalam staatsblad tersebut dijelaskan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di wilayah Propinsi Jawa Timur. Ini antara lain menunjuk Regenschap Djember sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, sebagaimana disebutkan pada artikel akhir dari staatblad ini. Hal inilah yang kemudian memberikan keyakinan kuat kepada Pemerintah Kabupaten Jember, bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan Regenschap Djember dan R.T. Ario Noto Hadinegoro sebagai Regent/Bupati pertama Kabupaten Jember.
Dilihat dari rujukan yang digunakan, penetapan tanggal 1 Januari sebagai Hari Jadi Pemerintah Kabupaten Jember, memang tidak salah. Hanya saja, penetapan hari jadi dengan merujuk pada ketentuan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda, oleh sejumlah kalangan dan cerdik pandai, dinilai sangat tidak pas.
Karena sama artinya hal itu mengakui keberadaan pemerintahan penjajah Belanda, yang di mata masyarakat Indonesia, tidak lebih sebagai pembawa kesengsaraan sepanjang ratusan tahun. Karena itu, ada baiknya kalau penilaian masyarakat maupun para ahli sejarah yang seperti ini, bisa dijadikan sebagai bahan renungan.
Karena disadari atau tidak, penilaian itu menempatkan Kabupaten Jember, sebagai daerah yang tidak jelas latar belakang sejarahnya. Tidak seperti daerah lain yang lebih berani memilih peristiwa heroik sebagai acuan untuk menetapkan hari jadi/ulang tahun bagi daerahnya.
Padahal, kalau saja Pemkab Jember, sedikit mau membuka dan menguak sejarah peradaban kuno Kabupaten Jember, ada beberapa peristiwa yang mestinya bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Jember. Lihat saja Kakawin Negarakretagama, Serat Pararaton atau Prasasti Congapan, yang berhasil ditemukan di Desa Karang Bayat, Kecamatan Sumberbaru.
Dalam Kakawin Negarakretagama disebutkan, jauh sebelum pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit), di daerah Jember atau tepatnya di kawasan Kecamatan Puger, pernah berdiri kerajaan kecil. Nama kerajaan ini dalam kita kuno tulisan Mpu Prapanca, disebut Sadeng dan terletak di sekitar muara Sungai Bedadung.
Kerajaan Sadeng ini akhirnya hancur dan musnah setelah pasukan Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Tribuwana Tunggadewi (1328-1350), menumpas habis. Penyerbuan tentara Majapahit ke Kerajaan Sadeng, yang dikenal dengan nama ekspedisi Pasadeng ini dipimpin oleh Patih Gajah Mada.
Dalam Kakawin Negarakretagama ditulis, bahwa penghancuran Kerajaan Sadeng oleh tentara Majapahit terjadi pada tahun 1331 AD (Anno Domini). Dari penjelasan Kitab Negarakretagama, yang selesai digubah oleh penulisanya, Mpu Prapanca, pada bulan Aswina1287 Saka (September Oktober 1365, hal. 299), setidaknya ada gambaran, bahwa di wilayah Kabupaten Jember pada masa itu telah terjadi peristiwa heroik, dimana masyarakat Sadeng (baca: Kabupaten Jember) melakukan perlawanan atas agresi Majapahit.
Penjelasan Negarakretagama ini juga menunjukkan, meski pada saat itu Kota Jember sendiri belum menjadi pusat kegiatan budaya dan politik, namun untuk beberapa daerahnya yang saat ini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Jember, pernah menjadi pusat kegiatan politik atau pemerintahan. Bukti adanya kegiatan budaya dan politik di wilayah Kabupaten Jember ini, bisa dilihat dari serangan Majahapit atas Sadeng, negara kecil yang terletak di kawasan pantai selatan, Kecamatan Puger.
Majapahit sebagai negara besar, agaknya tidak ingin melihat Sadeng menjadi penghalang bagi cita-citanya dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Lebih dari itu, Majapahit juga tidak ingin melihat Sadeng, yang letaknya tidak jauh dari ibukota Majapahit, tetap menjadi negara berdaulat, karena akan mengurangi kebesarannya.
Karena itu dengan segenap kekuatannya, Tribuwana Tunggadewi berusaha menurunkan pasukannya dalam jumlah besar untuk menghancurkan Sadeng. Hebatnya lagi, pada penaklukan Sadeng yang dikenal dengan nama Pasadeng tersebut, pasukan Majapahit di bawah komando langsung seorang panglima terkenal, bernama Patih Gajah Mada.
Kitab Negarakretagama, pada pupuh XLIX, mencatat peristiwa Sadeng dengan candrasengkala api memanah hari (1253), atau 1331 AD, Sirna musuh di Sadeng. Sedang Serat Pararaton, mencatat peristiwa Sadeng dengan candrasengkala kaya bhuta non daging (Tindakan Unsur Lihat Daging), 1256 Saka. Baik Negarakretagama maupun Pararaton menyebut peristiwa Sadeng bersamaan dengan penundukan Keta di Panarukan, Situbondo.
Nah, dari dua dokumen penting dalam menentukan sejarah lahirnya Jember ini, ada gambaran, bahwa Staatblad Belanda yang dijadikan patokan lahirnya Kabupaten Jember selama ini, sebenarnya bukan satu-satunya sumber yang bisa dijadikan acuan. Masih ada sumber lain, yang bisa dijadikan acuan dalam menetapkan hari jadi Kabupaten Jember
Sekarang tinggal kita sebagai orang Jember, apakah dasar pijakan yang akan kita gunakan mengacu dari sudut pandang Nerlando Centries. Ataukah penetapan hari jadi Kabupaten Jember harus kita kaji ulang dengan menggunakan sudut pandang Indonesia Centries.

Masyarakat Asli Kabupaten Jember
Selama ini, di kalangan masyarakat banyak yang beranggapan bahwa Jember pada masa lalu (jaman kuno), tidak ada penghuninya. Atau dengan kata lain, daerah yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Jember, merupakan hutan belantara atau tanah tak bertuan yang hanya dihuni binatang buas.
Anggapan seperti ini, seharusnya tidak pernah ada kalau saja masyarakat Jember, sedikit mengetahui sejarah daerahnya sendiri. Karena fakta sejarah adanya kehidupan masyarakat di Kabupaten Jember, sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala, bahkan diperkirakan sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit.
Ini bisa dilihat dari kunjungan Raja Majapahit ke 4, Prabu Hayam Wuruk, ke daerah kekuasaannya di wilayah timur (Lumajang) pada tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281) atau 1359 Masehi. Pada kunjungan ini, Mpu Prapanca, yang bertindak sebagai pencatat perjalanan Prabu Hayam Wuruk, mencatat sejumlah nama daerah yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Jember.
Diantara nama daerah di wilayah Kabupaten Jember yang ditulis dalam Kakawin Negarakretagama pupub XXII, antara lain Kunir Basini, Sadeng (Puger), Balung, Kuta Blater, Bacok (Tempurejo), Renes (Wirowongso, Ajung). Berdasarkan kakawin tersebut disebutkan, bahwa saat memasuki wilayah Jember, Hayam Wuruk sempat bermalam di Sadeng (Puger). Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan, Sepeninggalnya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai, heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Dalam kitab Negarakretagama itu juga dikatakan, setelah bermalam di Sadeng, sang penulis (Prapanca) tidak ikut berkunjung ke Bacok, tapi pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet, Galagah, Tampaling, kemudian beristirahat di Renes seraya menanti Baginda Hayam Wuruk.
Sekilas dari catatan dokumen sejarah ini, bisa diambil satu pemahaman, bahwa jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri, di wilayah Kabupaten Jember, sudah ada pemukiman penduduk. Tidak hanya itu, bahkan sebelum kunjungan Hayam Wuruk ke wilayah timur, di daerah Kabupaten Jember sekarang, juga sudah ada kegiatan politik yang pusatnya berada di Sadeng (Puger).
Dari catatan sejarah ini menunjukkan, bahwa Kabupaten Jember, pada masa dulu bukanlah daerah yang tidak bertuan atau hutan belantara. Di daerah Kabupaten Jember, pada masa dulu atau jauh sebelum Patih Asro Dikoro, (Patih afdeling Djember) sudah ada lembaga pemerintahan.
Adanya lembaga pemerintahan itu sudah barang tentu menunjukkan adanya kehidupan masyarakat yang sudah mulai teratur. Lalu apa nama dari masyarakat tersebut ?. Nah inilah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) para ahli dan pemerhati sejarah Kabupaten Jember.
Hanya saja menurut prakiraan, masyarakat yang tinggal di daerah-daerah di wilayah Kabupaten Jember sekarang, masih dari rumpun Suku Jawa. Sama dengan daerah lain, seperti Lumajang yang sampai saat ini tidak diketahui apa nama dari komunitas masyarakat yang mendiami daerah tersebut.
Padahal kalau melihat sejarahnya, Lumajang merupakan ibukota pemerintahan Majapahit bagian timur pada masa Prabu Jayanegara. Negara Lumajang atau Lamajang ini hancur serta pemimpinnya Nambi tewas setelah diserang Majapahit bagian barat pada tahun 1361. (*).

Sejarah penduduk asli jember



by : Saiful Rahman

Penyebaran Kelompok Austronesia di Jawa Timur, menurut hasil akhir penelitian Badan Arkeologi, selain ditemukannya peninggalan artefak dan sisa hunian di Kendeng Lembu-Glenmore-Banyuwangi, juga kelompok austronesia ini menyebarkan koloninya melewati sepanjang sungai Kali Baru dan telah bermigrasi di sepanjang pantai selatan jawa, termasuk di dipesisir pantai Puger-Jember.
                Puger-Jember-Jawa Timur sebagai tempat migrasi austronesia, praduga saya, itulah penduduk asli Jember (batasan geografis). Mengingat asal usul nusantara sebelum datangnya agama-agama besar merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang masih belum terbagi dalam kelas sosial dengan paket budaya khas Austronesia seperti yang saya sebut diatas. Bangsa Austronesia merupakan manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Pada masa bertempat tinggal tetap ini, manusia sudah pada fase berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Walau kebanyakan teman-teman saya yang berasal dipuger tak banyak tahu dimana lokasi goa sodong-Puger, sementara aku sendiri belum menelusurinya, namun saya yakin kelompok manusia austronesia di Puger ini sangat lama sekali menancapkan reproduksi peradabannya. Bahkan bisa jadi, koloni austronesia dipuger kemudian menyebarkan pecahannya sampai wilayah Jember Utara.
            Menurut beberapa para ahli arkeologi bahwa peradaban Neolitikum merupakan momen peralihan yang sangat menentukan dari masa prasejarah ke masa sejarah. Bisa dibilang kelompok bangsa Austronesia di Puger merupakan babak peralihan penting ke masa sejarah manusia di Jember. Jadi kelompok austronesia di Kecamatan Puger merupakan penentu periodeisasi peradaban awal manusia prasejarah (manusia tradisional) di Jember ke masa sejarah Jember (manusia modern) yang kemudian berkembang secara dinamis sampai sekarang.
                       Bila manusia prasejarah di Jember adalah kelompok Austronesia, lalu siapa manusia sejarah (manusia modern) pertama di Jember? Robert Wessing dalam penelitiannya yang berjudul, Nyai Roro Kidul in Puger ( Local Applications of a Myth), mengutip catatan De stoppelaar bahwa etnis puger tahun 1927 terdiri: “…etnically this population is up f madurese, javanise and bugis people with an additional sprinksling of using from the banyuwangi area and in the past peopole of mandarese and malay extraction….” Kata mandarise menunjuk pada keberadaan awal etnis mandar di Puger. Dan menurut beberapa orang sepuh yang meyakininya, bahwa penduduk pertama kali hidup dipuger adalah etnis Mandar. Baru kemudian disusul oleh etnis Jawa, dan Madura. Selain dipuger, kelompok masyarakat pendatang dij kabupaten Jember umumnya berasal etnis Jawa dan Madura dengan alasan pelarian dari kerajaan Mataram atau faktor didatangkan menjadi pekerja perkebunan oleh VOC Belanda.                                                                                                             Sebelum terjadi proses hinduisme singkretis yang disebarkan oleh kerajaan jawa kemudian dilanjut dengn migrasi orang-orang Madura, dan ditambah penguatan santrinisasi sampai sekarang, suku Mandar sudah datang di Puger dan berkoloni. Bukti ini dikuatkan adanya nama dusun mandaran di Desa Puger Wetan. Dan kepercayaan masyarakatnya bahwa mereka berasal dari Sulawesi.

Sejarah singkat Kab JEMBER

Keberadaan Kabupaten Jember secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis dengan berbagai potensi sumber daya alam yang potensial,sehingga banyak menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang menarik untuk digali dan dikaji. Tentang nama Jember sendiri dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian fakta sejarahnya.


Berbagai upaya baik seminar maupun penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian, Perguruan Tinggi maupun oleh sejarawan belum bisa mengungkap kejelasan yang pasti tentang kapan Kabupaten ini lahir. Pemkab Jember masih memberi Kesempatan luas untuk menampung sumbangan pemikiran untuk dijadikan bahan kajian dalam menentukan fakta sejarah guna mengetahui kapan hari jadi Kabupaten Jember sebenarnya.
Hari jadi bagi suatu daerah sangatlah penting dan mendasar, karena menandai suatu awal pemerintahan sehingga dapat dijadikan ukuran waktu bagi daerah kapan mulai berpemerintahan?
Sementara ini untuk menentukan hari jadi Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya.


Dalam Staatsblad 322 tersebut, dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarka ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Secara resmi ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.


Mempelajari konsideran Staatsblad Nomor 322 tersebut, diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kabupaten Jember menjadi kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri dilandasi 2 macam pertimbangan, yaitu Pertimbangan Yuridis Konstitusional dan Pertimbangan Politis Sosiologi.
Yang unik adalah, Pemerintah Regenschap Djember diberi waktu itu dibebani pelunasan hutang-hutang berikut bunganya menyangkut tanggungan Regenschap Djember. Dari artikel ini dapat dipahami bahwa dalam pengertian administratif serta sebutan regent atau Bupati sebagai Kepala Wilayah Kabupaten, diatur dalam artikel 7. Demikian juga pemisahan secara tegas antara Jember dan Bondowoso sebagai bagian dari wilayah yang lebih besar, yaitu Besuki dijelaskan pada artikel 7 ini.


Pada ayat 2 dan 4 artikel 7 ini disebutkan bahwa ayat 2 artikel 121 Ordonasi Propinsi Jawa Timur adalah landasan kekuatan bagi pembuatan Staatsblad tentang pembentukan Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur.
Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, ini disebutkan pada artikel terakhir dari staatsblad ini. Hal inilah yang memberikan keyakinan kuat kepada kita bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan “REGENSCHAP DJEMBER”.


Sebagaimana lazimnya sebuah peraturan perundang-undangan, supaya semua orang mengetahui maka ketentuan penataan kembali pemerintahan desentralisasi Wilayah Kabupaten Jember yang pada waktu itu disebut regenschap, dimuat juga dalam Lembaran Negara Pemerintahan Hindia Belanda.
Selanjutnya perlu diketahui pula bahwa, Staatsblad nomor 322 tahun 1928 diatas ditetapkan di Cipanas oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan Surat Keputusan Nomor : IX tertanggal 9 Agustus 1928. Pada perkembangannya dijumpai perubahan-perubahan sebagai berikut :
Pemerintah Regenschap Jember yang semula terbagi menjadi 7 Wilayah Distrik pada tanggal 1 Januari 1929 sejak berlakunya Staatsblad Nomor 46 tahun 1941 tanggal 1 Maret 1941 maka Wilayah Distrik dipecah-pecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu :


- Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi dan Arjasa ;
- Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe dan Sukowono;
- Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli dan Jenggawah ;
- Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Distrik Tanggul, meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru dan Bangsalsari ;
- Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong, Gumukmas dan Umbulsari ;


- Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu dan Balung.
Perkembangan perekonomian begitu pesat, mengakibatkan timbulnya pusat-pusat perdagangan baru terutama perdagangan hasil-hasil pertanian, seperti padi, palawija dan lain-lain, sehingga bergeser pulalah pusat-pusat pemerintahan di tingkat distrik, seperti distrik Wuluhan ke Balung, sedangkan distrik Puger bergeser ke Kencong.


Berdasarkan Undang-undang Nomor : 12 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten di Jawa Timur, menetapkan pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur (dengan Perda) antara lain Daerah Kabupaten Jember ditetapkan menjadi Kabupaten Jember.


Dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976, maka dibentuklah Wilayah Kota Jember dengan penataan wilayah-wilayah baru sebagai berikut :
Kecamatan Jember dihapus dan dibentuk 3 kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates, sedang Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.


Bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember, Wilayah Kawedanan Jember bergeser pula dari Jember ke Arjasa yang wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari dan Sukowono yang sebelumnya masuk Distrik Kalisat.


Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, pada perkembangan berikutnya maka secara administratif, Kabupaten Jember terbagi menjadi 7 Wilayah Pembantu Bupati, 1 Wilayah Kota Administratif dan 31 Kecamatan, yaitu :
- Kota Administratif jember, meliputi Kec. Kaliwates, Patrang dan Sumbersari ;
- Pembantu Bupati di Arjasa, meliputi Kec. Arjasa, Jelbuk, Pakusari dan Sukowono ;
- Pembantu Bupati di Kalisat, meliputi Kec. Ledokombo, Sumberjambe dan Kalisat ;
- Pembantu Bupati di Mayang, meliputi Kec. Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Pembantu Bupati di Rambipuji, meliputi Kec. Rambipuji, Panti, Sukorambi, Ajung dan Jenggawah ;
- Pembantu Bupati di Balung, meliputi Kec. Ambulu, Wuluhan dan Balung ;
- Pembantu Bupati di Kencong, meliputi Kec. Kencong, jombang, Umbulsari, Gumukmas dan Puger ;
- Pembantu Bupati di Tanggul, meliputi Kec. Semboro, Tanggul, Bangsalsari dan Sumberbaru.
Namun dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana tuntutan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak tanggal 1 Januari 2001 Pemerintah Kabupaten Jember juga telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk dihapusnya Kota Administratif Jember.


Demikian juga lembaga Pembantu Bupati berubah menjadi Kantor Koordinasi Camat. Namun setelah mengevaluasi selama setahun terhadap implementasi Otoda, Pemkab Jember melalui Perda Nomor 12 Tahun 2001 melikuidasi lembaga Kantor Koordinasi Camat.
Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember telah berhasil menata struktur organisasi dan kelembagaan hingga tingkat pemdes/kel.


Dengan demikian, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001 Kabupaten Jember memasuki paradigma baru dalam sistem pemerintahan yaitu dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi atau Otonomi Daerah, dengan melaksanakan 10 kewenangan wajib otonomi sehingga memberikan keleluasaan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keinginan dan aspirasi rakyatnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dengan misi utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Adapun SOTK Perangkat Daerah Pemkab Jember sebagai implementasi PP. Nomor 8 Tahun 2003 meliputi : 5 Badan, 14 Dinas, 3 Kantor, 3 RSUD, sementara Sekretariat Daerah membawahi 9 Bagian.


NAMA-NAMA BUPATI YANG PERNAH MENJABAT DI KABUPATEN JEMBER
- Noto Hadinegoro (1929 - 1942)
- Boediardjo (1942 - 1943)
- R. Soedarman (1943 - 1947)
- Roekmoroto (1947 - 1950)
- R. Soekarto (1950 - 1957)
- R. Soedjarwo (1957 - 1959)
- Moh. Djojosoemardjo (1959 - 1961)
- R. Soedjarwo (1961 - 1964)
- R. Oetomo (1964 - 1967)
- Moh. Huseindipotruno (1967 - 1968)
- Abd. Hadi (1968 - 1979)
- Soepono (1979 - 1984)
- Soeryadi Setiawan (1984 - 1989)
- Priyanto Wibowo (1989 - 1994)
- Winarno (1994 - 1999)
- Samsul Hadi Siswoyo (2000 – Mei 2005)
- Sjahrazad Masdar (Mei 2005 - 15 Agustus 2005) (Penjabat Bupati)
- Ir. H. MZA. Djalal, Msi (15 Agustus 2005 - Sekarang)

Senin, 13 Februari 2012

Pantai Puger

  1. Pantai yang  berjarak 40 km dari kota jember atau 40 menit berkendaraan pribadi dari pusat kota jember, pantai ini pada dasarnya masih belum dieksplorasi penuh oleh pemerintah setempat, terbukti jalan masuk menuju pantai pancer ini masih terbilang buruk sebagai tempat tujuan wisata. jika diamati selama perjalanan banyak sekali view yang sangat bagus apalagi saya yang punya latar belakang seorang fotografer sempat geleng geleng kepala keheranan melihat semua potensi wisata disini tidak dilirik apalagi dieksplorasi secara profesional dan maksimal,
perahu nelayan di pantai pancer puger dgn latar belakang bukit gamping


Untuk mencapai pantai pancer ini kita bisa memilih moda transportasi mobil pribadi atau sepedamotor, untuk moda transportasi umum belum ada akses langsung menuju pantai pancer ini, kecuali jika kita mencarter atau sewa kendaraan umum tersebut, untuk mencarter kita bisa lakukan  di terminal bus-angkutan umum utama jember yaitu terminal tawang-alun, dari terminal yang berjarak kurang lebih 8 km sebelah barat kota jember ini kita menuju jurusan jember – balung ( dari arah jember setelah rambipuji belok ke kiri ) , dari balung kita ambil jurusan puger yaitu jalan lurus ke arah selatan , sebelum memasuki puger kita di suguhi view yang unik di kanan – kiri jalan grenden , yaitu tungku – tungku pembakaran batu Gamping, yuph.. puger memang merupahkan salah satu penghasil tambang batu gamping yang berkwalitas bagus, tungku berjajar sepanjang jalan kanan – kiri di daerah yang bernama grenden ini. jika anda mengendarai sepeda motor jika telah sampai di daerah grenden ini di mohon berhati2 yaaa… karena banyak polusi debu dan asap hasil pembakaran batu gamping
kira-kira 4km menikmati tungku tungku pembakaran batu gamping kita akan memasuki puger kulon yaitu sebuah persimpangan 3, yang arah ke kiri menuju ke arah Aloon2 puger dan Tempat Pelelangan ikan , untuk ke arah pantai pancer kita mengambil arah kanan / arah ke barat , dan 1 km dari simpang 3 kita akan sampai di sebuah jembatan, persis setelah jembatan ada jalan kecil sebelah kiri dengan lebar kurang lebih 4 meter ( mobil bisa masuk koq ) , naahhh jalan kecil ini memang tidak bagus dan tidak dilapisi aspal ,
jalan menuju pantai pancer

jalan sepanjang 3 km hingga sampai ke pantai pancer bukanlah jenis jalan yang nyaman dinikmati, syukurlah sepanjang jalan terdapat view yang menarik yaitu deretan perahu2 milik nelayan yang sedang sandar di sepanjang sungai sebelah kiri jalan, sebagai seorang fotografer melihat view perahu yang full colour benar2 nyaman untuk dinikmati, tidak bisa dibayangkan jika pemda setempat bisa meng-eksplorasi tempat ini sejak jalan masuk hingga pantai dengan tidak merusak ekosistem dan view, pastilah akan menjadi salah satu magnet tujuan wisata yang menarik.

view deretan perahu nelayan full colour di sepanjang sungai

tiket retribusi memasuki pantai pancer maret 2011 rp.3500,-
tiket retribusi memasuki pantai pancer

Dan tentu saja meningkatkan PAD setempat, sambil membayangkan pemda setempat membangun sistem pariwisata di pantai pancer ini, tiba2 kita sampai di pintu gerbang loket, beberapa bapak2 yang pelit senyum seraya menyodorkan karcis tanda masuk sebesar Rp.3.500,-/orang , melihat situasi tidak nyaman ini , saya langsung turun sambil memotret pintu gerbang dari berbagai posisi, termasuk si bapak2 penjaga tiket, dan suasana berubah menjadi akrab dengan hadirnya senyum dari si bapak penjaga tiket. Sebuah password yang ampuh : chees..senyuum..!!
Pintu Gerbang Tiket

Pintu gerbang memasuki pantai pancer puger

oh iyaaa antara loket – pantai , ada menara suar ! Yaa menara / Mercu Suar, tidak seperti imajinasiku tentang sebuah menara suar dengan bagunan mirip menara masjid yang asyik buat berfoto,Tapi di Pantai Pancer ini sebuah menara suar yang terbuat dari susunan besi layaknya tower antene radio FM, sebuah bangunan yang tidak foto-genik, meski tidak cantik berdirinya menara suar ini sangat dibutuhkan para nelayan puger saat cuaca buruk ataupun badai sebagai penunjuk jalan agar perahu tidak menghantam batu karang, oh iyaa di sekitar pantai puger banyak sekali berserakan batu karang yang setiap waktu merusak perahu nelayan yang menghantamnya.
Di Pantai Pancer Ombak sangat dahsat, disarankan untuk pengunjung tidak berenang di Pantai ini.., dengan pasir yang berwarna hitam legam juga sampah yang berserakan masih belum menjadi prioritas bagi masyarakat setempat maupun pengunjung.
Sambil membayangkan seperti apa Pantai Pancer 20 tahun yang akan datang? Akankah Pemda dan dinas Pariwisata setempat akan meng-eksplorasi “emas pariwisata” yang ada di pantai pancer ini – ataukah akan berdiam diri bagai menunggu bola tanpa mengenal menjemput bola,