Sabtu, 10 Maret 2012

Surfing @ Puger, Jember

Kabupaten Jember banyak potensi wisata yang berabeka ragam mulai wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus serta obyek wisata yang memiliki keunikan dan ciri khas sendiri bahkan mengundang rasa kagum banyak wisatawan. Dalam rangka memperkenalkan dan memasarkan potensi  pariwisata alam kabupaten Jember berupa pantai.

Seperti diketahui oleh crew Magic wave ternyata disalah satu pantai di daerah Jember bisa digunakan untuk olahraga surfing, dan pantai tersebut bernama Puger. Pantai Puger terletak 36 km Barat Laut Kota Jember disamping sebagai tempat pelelangan ikan juga sebagai tempat wisata karena alamnya yang indah dan juga bisa digunakan untuk bermain surfing.

Di Pantai Puger ombaknya bisa digunakan untuk para surfer pemula dan juga para surfer Pro. Magic wave dan pemerintah kabupaten Jember berencana mengadakan sebuah Trial Kontes Surfing, Dimana bertujuan untuk meningkatkan pariwisata di Puger dan memasyarakatkan olah raga surfing disana. Trial kontes surfing tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 4-5 Oktober 2008 di Pantai Puger. This is New Spot for Surfing. Be There and Don’t Miss It.
Surfing at Puger

TERPURUKNYA NELAYAN PUGER JEMBER

tempat pelelangan ikan puger
Nelayan sebagai pewaris budaya bahari yang paling banyak memanfaatkan laut ternyata belum menikmati hasil memuaskan. Hal ini karena pemanfaatannya masih menggunakan metode sederhana / tradisionil sehingga hasilnya tidak optimal.

Pemanfaatan laut oleh nelayan dan masyarakat pesisir umumnya seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah. Jika dicermati sejak statusnya Ditjen Perikanan di Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) belum mampu memacu kesejahteraan nelayan yang umumnya tradisional itu. Data DKP menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2008 sebesar  32 persen dari 16,42 juta masyarakat pesisir di Indonesia, berada pada level di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat struktural dan ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, teknologi dan permodalan, budaya serta gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah kurang berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu.

Kondisi masyarakat di desa nelayan umumnya masih saja kumuh (kurang listrik, air bersih, jalan rusak). Sekolah dan sarana/ prasarana kesehatan pun masih minim.

Memang sejak sektor kelautan diperhatikan sarana dan prasarana untuk menunjang penghasilan nelayan pun berusaha dipenuhi. Pelabuhan Perikanan skala besar dan kecil serta Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dibangun dan dibenahi. Dengan harapan produktivitas dan penghasilan nelayan meningkat. Sayangnya tidak diikuti pembenahan menejemen pelelangan ikan yang carut marut karena dominasi para pengambek (ijon/ rentenir) dan juragan perahu.

Demikian pula bantuan kapal dan alat tangkap dengan pola bergulir hasilnya tidak pernah dievaluasi. Peningkatan sumber daya masyarakat idealnya mampu memberi bekal cara pengolahan ikan pasca tangkap untuk memberikan nilai tambah. Nelayan perlu diarahkan usaha budi daya laut (marinkultur) untuk mengantisipasi paceklik yang terjadi pada musim angin barat.

Berdasarkan perhitungan, sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, budi daya laut diperkirakan mencapai 24,53 juta hektar. Terbentang dari ujung barat sampai ke timur Indonesia . Komoditas yang dapat dibudidayakan antara lain, kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, mutiara, abalone, dan rumput laut.

Program Mitra Bahari (PMB), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)yang dicanangkan sebagai bentuk kepedulian pada masyarakat dan lingkungan pesisir, jangan lagi memosisikan nelayan hanya sekedar obyek. Tolok ukur keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, seyogianya tidak dilihat dari banyaknya sarana dan fasilitas yang telah dibangun. Atau pun dari indikator peningkatan ekspor setiap tahunnya.
Lihat pula bagaimana tingkat kesejahteraan, kondisi ekosistim lingkungan pesisir dan laut yang saling terkait. Lebih baik ataukah sebaliknya?

Itulah masalahnya. Kebijakan pemerintah selama ini baru menyentuh permukaan, yang kasat mata. Nelayan nasibnya masih saja miskin. Di laut dimainkan gelombang, di darat menjadi bulan-bulanan pengambek, terjerat utang turun temurun. Walaupun tangkapan ikan meningkat setiap tahunnya, akan tetapi tidak banyak membawa perubahan kondisi sosial ekonomi nelayan.

Di Jawa Timur misalnya, produksi perikanan tangkap tahun 2008 mencapai 328.875.10 ton dengan nilai Rp 2,6 triliun. Provinsi ini memberi kontribusi ekspor perikanan nasional sekitar 25,7 persen. Akan tetapi penghasilan nelayan pada tahun 2008 rata-rata sebesar Rp 4,061,756 (Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim). Atau sekitar Rp 333 ribu per bulan. Berarti hanya Rp 13 ribu per hari rumah tangga atau Rp 3,300 per anggota keluarga.

Jika mengacu standar Bank Dunia yakni keluarga miskin berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari betapa miskinnya nelayan kita. Padahal potensi sumber daya perikanan laut Indonesia mencapai 6,7 juta ton per tahun. Ikan palagis, demersial, ikan karang, udang paneid, dan lobster tersedia cukup melimpah.

Berbagai upaya membantu permodalan nelayan pun banyak diluncurkan. Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), hingga kini belum menyentuh nelayan kecil. Program pendanaan dan permodalan yang digulirkan pemerintah jauh dari jangkauan nelayan.

Lain di tataran konsep beda pula realitas di lapangan. Dana pemerintah yang dititipkan pada bank atau lembaga keuangan lainnya belum efektif. Selain tidak tepat sasaran, ternyata juga mahal. Tidak ada bedanya dengan kredit umum.

Boleh dikata kebijakan pemerintah untuk nelayan belum mencakup aspek politik dan ekonomi secara menyuluruh. Kebijakan yang diambil baru menyentuh permukaan. Belum sampai ke kedalaman lautan persoalannya.